Menurut COO Sandbox, Sebastien Borget, langkah perusahaan teknologi besar, seperti Meta yang ingin terjun ke dunia metaverse dapat menghambat upaya desentralisasi internet melalui teknologi blockchain dan cryptocurrency.
"Tujuan kami adalah membangun metaverse terbuka yang dapat melawan apa yang kami sebut kompetisi metaverse Web 2.0," tutur Sebastien seperti dikutip dari South China Morning Post, Jumat (17/12/2021).
Untuk itu, Sandbox ingin ikut mendorong gerakan Web 3.0. Sebagai informasi, Web 3.0 merupakan istilah yang diciptakan oleh salah satu pendiri Ethereum, Gavin Wood.
Lewat gerakan ini, ia ingin melawan perusahaan teknologi besar yang menghadirkan era Web 2.0, yakni era di mana muncul platform web yang mengumpulkan dan memonetisasi data pengguna di server terpusat.
"Cara Big Tech memproyeksikan visi menciptakan metaverse benar-benar kurang keberagaman," ujar Sebastien menjelaskan.
Sandbox sendiri mengoperasikan layanannya dengan sistem decentralised autonomous organisation (DAO). Jadi, pengguna dapat mengusulkan dan melakukan perubahan pada platform Sandbox.
Oleh sebab itu, cryptocurrency yang digunakan untuk transaksi dalam platform ini, yakni Sand juga memiliki hak suara, tidak nilai moneter saja.
Sistem ini juga membuat Sandbox mendapatkan dukungan dari para penggemar cryptocurrency. Selama 12 bulan terakhir, nilai Sand telah meningkat lebih dari 9.000 persen.
Liputan6.com, Jakarta - Rencana sejumlah perusahaan teknologi besar (Big Tech) membangun metaverse ternyata disikapi dingin oleh Co-founder Sandbox, sebuah platform video game berbasis blockchain.
Menurut COO Sandbox, Sebastien Borget, langkah perusahaan teknologi besar, seperti Meta yang ingin terjun ke dunia metaverse dapat menghambat upaya desentralisasi internet melalui teknologi blockchain dan cryptocurrency.
"Tujuan kami adalah membangun metaverse terbuka yang dapat melawan apa yang kami sebut kompetisi metaverse Web 2.0," tutur Sebastien seperti dikutip dari South China Morning Post, Jumat (17/12/2021).
Untuk itu, Sandbox ingin ikut mendorong gerakan Web 3.0. Sebagai informasi, Web 3.0 merupakan istilah yang diciptakan oleh salah satu pendiri Ethereum, Gavin Wood.
Lewat gerakan ini, ia ingin melawan perusahaan teknologi besar yang menghadirkan era Web 2.0, yakni era di mana muncul platform web yang mengumpulkan dan memonetisasi data pengguna di server terpusat.
"Cara Big Tech memproyeksikan visi menciptakan metaverse benar-benar kurang keberagaman," ujar Sebastien menjelaskan.
Sandbox sendiri mengoperasikan layanannya dengan sistem decentralised autonomous organisation (DAO). Jadi, pengguna dapat mengusulkan dan melakukan perubahan pada platform Sandbox.
Oleh sebab itu, cryptocurrency yang digunakan untuk transaksi dalam platform ini, yakni Sand juga memiliki hak suara, tidak nilai moneter saja.
Sistem ini juga membuat Sandbox mendapatkan dukungan dari para penggemar cryptocurrency. Selama 12 bulan terakhir, nilai Sand telah meningkat lebih dari 9.000 persen.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Sandbox menggunakan cryptocurrency untuk melakukan pembelian properti dan item di metaverse besutannya. Sejumlah item dalam metaverse tersebut juga dikelola dalam bentuk NFT (non-fungible tokens).
Sama seperti token cryptocurrency dan blockchain lain, NFT sifatnya unik dan diamankan mengguna cryptography, sehingga bisa menjadi bukti kepemilikan.
Dengan metode ini, Sebastien menuturkan, pengguna Sandbox benar-benar memiliki properti di dunia virtual.
Sandbox juga memungkinkan pengguna memiliki wilayah di metaverse besutannya melalui sistem lelang. Sejak 2019, penjualan wilayah yang di metaverse besutan Sandbox mencapai USD 211 juta.
Menurut Sebastien, pemilik tanah di Sandbox saat ini mencapai 16.600 dan sudah ada 1 juta akun terdaftar. Bahkan, salah satu konglomerat Hong Kong diketahui telah membeli salah satu bidang digital di Sandbox.
0 Komentar